Kamis

Pisau KeRahiman

Ada seorang nabi, yang Gusti Allah sangat mencintainya. Begitu sangat cintaNya, sehingga IA memberikan penderitaan yang dahsyat kepada sang hamba. Nabi Ayyub alaihi salaam, telah dipilihNya untuk hanya mencintaiNya..untuk mengisi hatinya hanya dengan IA, hingga tak ada sedikitpun bagian yang diperuntukkan bagi selain IA di dalam dirinya. Maka Gusti Allah kemudian mengucilkan ia dari harta-harta yang dimilikinya. Menjauhkan ia dari anak-anak, isteri, dan para pengikutnya. Lalu menempatkan ia di sebuah gubuk reyot di atas tanah pembuangan sampah di luar perkampungan sebagai tempat tinggalnya. Tidak ada lagi yang tersisa dari keluarganya selain isterinya, yang memburuhkan diri bekerja pada orang-orang dan pulang dengan membawa sesuap makanan untuknya. Bahkan..Gusti Allah kemudian menghilangkan daging, kulit, dan tenaganya, hingga menyisakan hanya telinga, mata, dan hati, demi memperlihatkan keajaiban qudrah kekuasaanNya.

Namun sang nabi terus memuji kesucianNYA dengan lisannya dan bermunajat dengan hatinya. Ia melihat semua keajaiban itu dengan matanya, sementara nyawanya maju mundur dalam jasadnya. Dan para malaikat bersalawat memohon kesejahteraan untuknya serta membesuknya.

Sang hamba terputus dari manusia, namun tersambung dengan kasih keintiman denganNya. Ia juga terputus dari sarana-sarana, daya upaya dan kekuatan, namun kemudian ia menjadi tawanan cintaNya, juga takdir, kekuasaan, kehendak, dan ketetapan terdahulu Nya. Perkaranya bermula pada kesabaran, dan berakhir menjadi kejelasan. Pada awalnya terasa pahit, namun akhirnya manis terasa. Sang nabi hidup nyaman di tengah petaka yang menimpanya, sebagaimana kenyamanan hidup Nabi Ibrahim as di tengah bara api yang membakarnya.

Kaum salih terbiasa bersabar menghadapi bencana, tanpa kecemasan sedikitpun sebagaimana kecemasan yang kita tunjukkan. Bencana memiliki banyak ragam. Ada yang menimpa fisik (al-bunyah) dan ada yg menimpa hati. Ada yang bersama makhluq, dan ada juga yang bersama Sang Pencipta. Tidak ada kebaikan pada orang yang tidak pernah ditimpa keperihan derita, sebab bencana adalah khatatif (pisau bedah untuk menyembuhkan luka) milik al-Haqq 'Azza wa Jalla.

Syekh 'Abd al-Qadir al-Jilani dlm kitabnya "Al Fath ar-Rabbani wa al-Fayd ar-Rahmani"